Why I resigned from my Full time Job ~Kontemplasi tentang rutinitas~

Dulu.. 

Saya ini maniak sekolah, ambisius, mengejar ranking, orientasi materialistik, uang = simbol sukses. Sampai suatu ketika saya merasa hidup saya hampa, terjebak rutinitas Pergi-Pagi-Pulang-Petang-Penghasilan- Pas-pasan. Pembayaran KPR didebit otomatis di tanggal gajian mengakibatkan uang hanya mampir di rekening dalam waktu 2 jam. Rasio Utang : Pendapatan > 50%. Tiap bulan terasa “sesak napas” mengatur keuangan. Makanpun ngirit parah. Walaupun lelah mengejar KRL tiap pagi, tetep aja saya pergi ke kantor. Utang bikin kita semangat kerja lho! ini pendapat seorang teman. Ga salah sih, at least ada sesuatu yang menggerakkan saya bangun di pagi hari. Tapi suatu pagi saya terbangun dan berkontemplasi, “Apakah kehidupan seperti ini yang saya inginkan?”.

Saya lihat role model orangtua dan kerabat yang memiliki pola serupa. Tidak buruk memang, Rumah terbeli, Mobil ada tapi pengorbanan waktunya mahal sekali. Too much price to pay, yet we can not turn back time. Mulailah saya menghitung-hitung ongkos materi dan immateri. Saat itu saya sedang sibuk-sibuknya di kantor, plus belajar untuk Ujian CFA (Chartered Financial Analyst) jadi saya kurang tidur kronis hampir tiap hari. Belum lagi sisa uang bulanan yang tipisss membuat saya harus berhemat dengan masak sendiri. Another extra miles to cook early in the morning while having sleep deprivation. Pulang diatas jam 8 malam, kadang lebih. Ketemu suami cuma sebentar-sebentar. Oh My.. disitu saya takut cerai. Suami saya memang super baik dan pengertian, tapi kalau komunikasi saja limited edition mana bisa membangun rumah tangga yang baik, apalagi punya anak.

Saya tidak benci bos saya, malah saya sayang sama bos terakhir di kantor. Saya juga ga ada masalah dengan kolega saya. Saya cuma bermasalah dengan diri saya sendiri ??. 

Untungnya ada sebuah buku yang menjustifikasi keputusan saya berhenti kerja. Saya bulat tekad akan berhenti kerja, saya bicara dengan bos dengan nada yang tenang, tegas dan meyakinkan. Yes, It’s not about money. It’s about me,myself and I. Bos saya tentu saja syok, dia ga tau mau respon apa karena ekspresi muka saya menunjukkan bahwa saya ga butuh dinaikin gaji, ga butuh dipromosi. Saya memang sudah ga butuh berada di kantor itu saja. 

Singkat cerita, I resigned happily without a single doubt ?. Hal pertama yang saya lakukan setelah resign adalah sholat dan sujud syukur. Besoknya nonton teater di Salihara sendirian. Kapan terakhir kali saya memasukkan makanan untuk jiwaku yang kering kerontang bak Padang pasir Sahara wkwkwkw. The next few days I made solo trip to Bandung, tapi ga nginep di tempat mertua (Parah! jangan ditiru). Alasannya karena saya butuh menyendiri tanpa gangguan siapapun. Untung suami mengerti dan kasih izin. Di Bandung, saya bertemu dengan teman-teman lama dan menikmati ngobrol ngalor ngidul tanpa dibatasi waktu. 

Pulang ke Jakarta, saya kembali menata hidup. Datanglah kabar gembira yaitu strip dua di testpack. Mulailah kehidupan saya sebagai bumil. Saya memang sendirian dirumah saat hamil, tapi saya menikmati kesendirian tanpa hingar bingar orang lain. Saya kembali berolahraga. Saya bisa menikmati pagi hari dengan pelan. Saya bisa makan dengan tempo yang pelan, tidak diburu-buru oleh jadwal KRL. Saya merasa sehaaat sekali dan mestinya dari dulu saya memutuskan hidup begini. 

Saat hamil, saya makin sering berkontemplasi tentang kehidupan. Banyak membaca tulisan orang lain dan buku-buku. Berpikir tentang langkah saya selanjutnya saat anak lahir. Berpikir tentang pendidikan apa yang akan diusung keluarga kami. Berpikir bagaimana mengatur keuangan keluarga. Alhamdulillah resign adalah keputusan yang tepat, sampai sekarang pun saya tidak menyesalinya. 

I am living my life in slow lane now. we don’t need to take every highway roads. Sometimes we need to take different routes to enjoy the sceneries. 

~ Nares for Travelling Mikana~

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *